Sabtu, 25 Mei 2013

Kapabilitas Sistem Politik



Kapabilitas Sistem Politik
Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Kapabilitas sistem politik dapat diartikan sebagai kemampuan sistem politik yang dapat digunakan untuk mematangkan pembangunan politik disuatu negara. Menurut Almond, untuk menetukan realitas kegagalan sistem politik, memerlukan serangkaian parameter yang sekaligus pemenuhan didalamnya menjadi sebuah tawaran solusi. Dikatakan bahwasanya setiap sistem politik harus memiliki enam jenis kemampuan, yaitu :
1.         Ekstraktif
Ekstraktif adalah kemampuan pemerintah untuk melakukan pengolahan terhadap SDA dan SDM dilingkungan dalam maupun lingkungan luar. Adapun menurut Gabriel Almond mengemukakan bahwa Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan mengumpulkan dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia dari lingkungan dalam negeri dan internasional. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah, seperti bagaimana pemerintah mengelola pertambangan berhadapan dengan modal domestik mau pun asing dan kepentingan kemakmuran rakyat di sisi yang lain.  Sementara kemampuan pengelolaan SDM akan berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan, peningkatan sumber daya, pengalokasian SDM dan lain-lain. Tentu saja, pada akhirnya kedua dimensi kemampuan pengelolaan potensi SDA dan SDM harus dipadukan ke dalam satu tujuan, yakni kemaslahatan bangsa di mana sistem politik itu bekerja.
Contoh Kasus
Kemampuan ekstraktif dalam hal  ini dapat  dilihat dari pengelolaan minyak dan pertambangan oleh penanam modal asing yang akan memberikan pemasukan bagi pemerintah yang berupa pajak. Seperti contoh penambangan emas di Papua oleh PT Freeport Indonesia yang mampu menyetorkan pajak senilai 19 triliun kepada pemerintahan Indonesia. Walaupun kapabilitas ekstraktif ini telah dilakukan namun pada kenyataanya sumber-sumber material belum mampu mengolah sumber daya alam untuk mensejahterakan rakyat. Masyarakat tetap saja bergumul dengan kemelaratan dan kemiskinan, Karena konstribusi pajak senilai 19 triliun itu dinilai tidak sebanding dengan eksplotasi yang dilakukan oleh PT FI yang berdampak pada kerusakan lingkungan yang berupa Limbah produksi yang dibuang kesungai.
2.        Regulatif
Regulatif adalah kemampuan pemerintah untuk membuat aturan- aturan yang dapat mengontrol dan mengendalikan perilaku individu atau kelompok agar sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Gabriel Almond beranggapan bahwa Kapabilitas Regulatif sama dengan pengaturan yang merujuk kepada aliran kontrol atas perilaku individu dan relasi-relasi kelompok di dalam sistem politik. Point ini biasanya dilakukan dengan cara menerapkan peraturan-peraturan secara umum, dimana tolok ukur penilaiannya terletak pada sejauh mana pola-pola tingkah laku dari pada individu-individu yang ada beserta berbagai bidang di dalamnya dapat diatur oleh suatu sistem politik.
Contoh kasus
Kemampuan regulatif adalah kemampuan yang sangat kritis terjadi di indonesia. Regulasi yang seharusnya hadir sebagai pengontrol dan pengendali tingkah laku dalam berjalannya sistem politik terkadang disalah  gunakan para pembuat regulasi, bahkan cenderung “membentengi” diri lewat peraturan yang dibuatnya. Telah banyak peristiwa besar yang terjadi di negara kita saat ini, seperti DPR yang merupakan pembuat undang-undang, justru mereka sendiri yang banyak melanggarnya. Selain itu, maraknya kasus mafia hukum yang notabene dilakukan penegak hukum itu sendiri.
Apabila kemampuan regulatif sistem politik ini dimaknai sebagai interaksi yang mempengaruhi semua penggunaan paksaan fisik yang sah, maka sungguh tidak efektif kemampuan sistem politik ini. Karena masih sangat marak aksi premanisasi yang terjadi tanpa aparat negara yang mampu mencegahnya, bahkan pengerusakan tempat-tempat ibadah menjadi fenomena tersendiri dalam negeri ini.

3.      Distributif
Distributif adalah kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan dan mendistribusikan SDA dan SDM berupa barang dan jasa  yang dimiliki oleh masyarakat dan negara secara merata. Menurut Gabriel Almond Kapabilitas Distributif yakni merujuk kepada kemampuan melakukan alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi, penghargaan, status, dan kesempatan untuk semua lapisan masyarakat. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, dalam rangka penciptaan keadilan sosial. Pada saat yang sama distribusi sumber-sumber penghidupan dan pekerjaan serta mobilitas sosial juga penting diperlihatkan oleh kapabilitas distributif ini. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sistem dan struktur perpajakan, dengan demikian, akan memengaruhi corak kenegaraan, apakah bisa dikatakan lebih adil atau kurang adil, lebih mampu menjalankan kapabilitas distributif atau malah gagal.
Contoh Kasus
Saat ini masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius. Malahan ada kecenderungan semakin memburuk mengenai hal ini. Kebijakan ekonomi neoliberal yang semakin intensif dilakukan oleh pemerintahan SBY telah membuat ketimpangan dan kesenjangan antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin semakin memprihatinkan. Biaya pendidikan semakin mahal sehingga hanya kelompok tertentu saja yang mampu mengakses, terlebih lagi harus ada sistem standarisasi kelulusan berupa UN yang menuai kontra dari berbagai pihak. Bagaimana tidak, sistem ini malah justru menjadi diskriminasi bagi anak yang bersekolah di pedesaan yang harus disamakan standarnya dengan anak perkotaan yang jauh lebih banyak penerima fasilitas pendidikan dibanding dengan anak-anak didaerah terpencil. Demikian pula dalam pelayanan kesehatan. Semakin mahalnya biaya kesehatan membuat masyarakat miskin tidak lagi memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, sementara kelompok yang kaya dapat memilih jenis pelayanan kesehatan apapun, termasuk pelayanan standar internasional. Sebagai contoh seorang yang harus kehilangan anaknya karena ditolak oleh 10 rumah sakit dengan alasan yang tidak tidak logis, menjadi pemandangan tersendiri bagi bobroknya kapabilitas ditributif dari sistem politik indonesia.

4.      Simbolik
Simbolik adalah kemampuan untuk membangun pencitraan terhadap kepala negara atau juga rasa bangga terhadap negaranya. Menurut Gabriel Almond Kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sebuah sistem politik.
Contoh Kasus
Kapabilitas simbolik pada sistem politik di indonesia saat ini tidak melahirkan pemimpin yang memiliki jiwa kemimpinan, karismatik dan relegius. Seperti kita ketahui sosok pemimpin seperti Ir. Soekarno, yang karismatik dan Gusdur sebagai tokoh agama. Tepuk tangan yang diberikan kepada pidato seorang tokoh politik merupakan dukungan moral dan tanda penghormatan atas dirinya sebagai pemimpin. Namun sekarang yang kita lihat tidak lagi terdapat pemimpin yang memiliki simbol tertentu, sehingga hanya melahirkan kepala pemerintahan yang memimpin dengan sistem kerja struktural belaka.
Tapi pada perkembangannya, kemampuan simbolik mulai berangsur-angsur memberikan titik terang, karena masyarakat semakin lama semakin pintar melihat calon-calon pemimpin yang akan dipilihnya. Pemimpin yang hanya mengandalkan pencitraan tidak akan mampu bertahan lama karena persaingan politik pun semakin ketat. Siapa yang mampu menarik simpati masyarakat maka dia yang dipercaya, seperti halnya Jokowi. Gubrakan dalam kepemimpinannya banyak menuai dukungan dari masyarakat karena gayanya yang Blusukan membuat orang lebih simpati. Semoga saja apa yang dilakukann pemimpin di negeri ini bukan untuk pencitraan untuk mendapat simpati dari masyarakat tapi merupakan gaya kepemimpinana yang bisa membuat Indonesia yang lebih baik.
5.      Responsif
Responsif adalah kemampuan daya tanggap yang diciptakan oleh pemerintah terhadap tuntutan atau tekanan. Gabriel Almond berpendapat tentang Kapabilitas responsif bahwa dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output. Output berupa kebijakan pemerintah dapat dikur dari sejauh mana kebijakan tersebut dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat (sebagai inputnya). Di sini, agak sedikit berbeda dengan kapabilitas simbolik, yang paling pokok bukan lah didapatkannya benang merah antara kebijakan dengan tuntutan/aspirasi masyarakat, tetapi lebih kepada bagaimana proses pembuatan kebijakan itu sendiri, yakni pelembagaan mekanisme agregasi dan artikulasi politik kepentingan masyarakat ke dalam sebuah kebijakan politik. Jadi, bukan sekedar melihat apakah Output kebijakan paralel dengan aspirasi/tuntutan masyarakat (kemampuan menangkap wacana aspirasi), tetapi apakah di dalam sistem politik tersebut telah terlembagakan suatu mekanisme dimana rakyat dapat lebih mudah dan lebih mungkin untuk terlibat di dalam tahapan-tahapan pembuatan kebijakan.
Contoh Kasus
Mengenai responsivitas, sistem politik kurang mengakomodasi segala kepentingan masyarakat dilingkungan sistem politik itu sendiri. Karena selama ini kecenderungan kebijakan dibuat oleh para elite politik, dan terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tuntutan masyarakatpun kurang direspon dengan baik, meskipun ditekan dengan berbagai aksi demonstrasi.
Tragedi Demonstrasi yang terjadi sehingga kerusakan bahkan berujung pada kematian menjadi contoh nyata kurang rensonsif pemerintah terhadap tuntutan masyarakat. Dengan hadirnya berbagai Lembaga swadaya masyarakat bisa lebih memudahkan penyampaian aspirasi dan tuntutan masyarakat sehingga kapabilitas responsif yang dicitptakan mampu menyeimbangkan antara tuntutan dan kebijakan sehingga sistem politik dapat berjalan normal.
6.      Domestik dan internasional
Domestik dan Iternasional adalah kemampuan yang dimiliki pemerintah dalah hal bagaimana ia berinteraksi dilingkungan domestik maupun luar negeri.
Contoh Kasus
Kemampuan domestik sistem politik masih lemah sehingga relasi antara pemerintah dan masyarakat kurang harmonis, hal ini tergambar dari berbagai aksi ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah selama ini. Mengenai kemampuan internasional, sistem politik indonesia sangat terbuka terhadap kebijakan internasional dan membentuk relasi yang baik dengan dunia internasional. Namun menjadi ironi ketika sistem politik indonesia memberikan kebebasan pada dunia internasional untuk berinvestasi, justru mengorbankan masyarakatnya sendiri. Contoh riil yang terjadi saat ini, dimana adanya perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan China yang justru mematikan industri lokal. Dimana kebebasan produk Cina masuk kepasaran Indonesia membuat daya beli masyarakat terhadap produk dalam negeri menjadi berkurang.

MASA KEEMASAN, MASA KEMUNDURAN DAN MASA KEBANGKITAN KEMBALI HUKUM ISLAM


RESUME
MASA KEEMASAN, MASA KEMUNDURAN DAN MASA KEBANGKITAN KEMBALI HUKUM ISLAM


Disusun Oleh:

ABDUL AZIS
SP.110156

A.    MASA KEEMASAN
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam selanjutnya dipegang oleh Dinasti Abbasiyah yang berlangsung sekitar 250 tahun sejak akhir abad ke-7 sampai awal abad 10 M. Periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang seluruhnya masih dibuktikan sampai saat ini.
Periode ini merupakan periode keemasan umat Islam, yang ditandai dengan berkembangnya berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, pemikiran ilmu kalam, hukum, tasawuf, teknologi, pemerintahan, arsitektur, dan berbagai kemajuan lainnya. Sejalan dengan berkembangnya pemerintahan Islam sebagai akibat semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam ke belahan dunia Barat dan Timur, dari daratan Spanyol (Eropa Barat) sampai perbatasan Cina (di Asia Timur), maka terbentanglah peradaban Islam dari Granada di Spanyol sampai ke New Delhi di India, yang dirintis sejak masa Khulafa al-Rasyidin, Khalifah Umayyah, dan Khalifah Abbasiyah.
Perluasan wilayah ini menyebabkan munculnya masalah-masalah baru yang belum terjadi sebelumnya, sehingga permasalahan yang dihadapi umat Islam pun makin banyak dan kompleks. Keadaan demikian memunculkan tantangan bagi para mujtahid untuk memecahkan hukum masalah-masalah tersebut, dan hasil ijtihad mereka kemudian dibukukan dalam kitab-kitab fiqh (hukum). Karena itu masa ini merupakan masa perkembangan dan pembukuan kitab fiqh, hasil ijtihad para tokoh mujtahidin. Periode ini merupakan puncak lahirnya karya-karya besar dalam berbagai penulisan dan pemikiran, ditandai antara lain dengan lahirnya kitab kumpulan hadits dan fiqh (hukum Islam) dari berbagai madzhab.
A. Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya
Belum pernah tercatat dalam sejarah perkembangan fiqih sebagaimana terjadi pada periode ini. Kekayaan tsarwah fiqhiyah benar-benar memperlihatkan kedalaman dan orisinalitas yang mengagumkan. Saat itu fiqih menjadi disiplin ilmu tersendiri, mulai dirintis penulisan ushul fiqih (kaidah-kaidah fiqhiyah) dan perumusan metodologi serta kaidah-kaidah ijtihad yang dipakai oleh para mujtahidin dan fuqaha dalam menyimpulkan hukum-hukum dari sumber fiqih.
Sejarah juga mencatat periode ini sebagai suatu fase dimana fiqih tidak sekedar berputar di sekitar masalah-masalah pengambilan hukum atau fatwa-fatwa fuqaha sahabat, seperti yang menjadi concern fuqaha sebelumnya, tetapi merambah ke dalam persoalan-persoalan metodologis dan kemungkinan pencarian “rumusan alternatif” bagi pengembangan kajian fiqh.
Ada beberapa faktor yang mempunyai andil dalam menghantarkan fiqih menuju era keemasan. Faktor-faktor itu di antaranya :
1. Adanya perhatian para khalifah Bani Abbas terhadap fiqh dan para fuqahanya.
Berbeda dengan Khulafa’ Bani Umayyah yang “memasung” para fuqaha membatasi gerak mereka yang berani menantang kebijaksanaan pemerintah. Khulafa’ Bani Abbas malah mendekati para fuqaha dan meletakkan mereka pada posisi yang terhormat. Perhatian yang begitu besar, misalnya dapat dilihat ketika khalifah Harun al-Rasyid memanggil Imam Malik untuk mengajarkan kitab Muwattha’ kepada kedua putranya, al-Amin dan al-Makmun.
2. Kebebasan berpendapat
Perhatian khulafa’ Bani Abbas yang besar terhadap fiqih dan fuqaha juga tergambar dalam kebebasan berpendapat dan berbagai stimulasi yang diberikan untuk membangkitkan keberanian berijtihad para fuqaha. Pemerintahan Daulah Abbasiyah tidak ikut campur dalam urusan fiqh, misalnya dengan meletakkan peraturan yang mengikat kebebasan berpikir dan tidak pula membatasi madzhab tertentu yang mengikat para hakim, mufti atau ahli fiqh memiliki kebebasan untuk menentukan hukum sesuai dengan metodologi dan kaidah-kaidah ijtihad yang mereka gunakan.
3. Banyaknya fatwa pada periode ini
4. Kodifikasi ilmu
5. Tersebarnya perdebatan dan tukar pikiran diantara para Faqihi
Pada permulaan masa ini, mulailah timbul munadzarah (pertukaran fikiran) dan perselisihan paham yang meluas yang mengakibatkan timbulnya khittah-khittah baru dalam mentasyri’kan hukum bagi pemuka-pemuka tasyri’ itu. Terjadinya perselisihan paham di masa sahabat itu adalah karena perbedaan paham diantara mereka dan perbedaan nash yang sampai kepada mereka, karena pengetahuan mereka dalam soal hadis tidak bersamaan dan pula karena perbedaan pandangan tentang mashlahah yang menjadi dasar bagi penetapan suatu hukum, disamping itu juga adalah karena berlainan tempat.
6. Pembukuan fiqh / hukum Islam
Gagasan penulisan hukum-hukum fiqhiyah sebenarnya sudah muncul pada akhir pemerintahan Bani Umayyah, yaitu ketika beberapa ulama mulai menulis fatwa-fatwa diantara syeikh mereka karena khawatir lupa atau hilang. Sejak saat itu inisiatif untuk menulis hukum-hukum syar’iyah terus berkembang. Beberapa fuqaha Madinah mulai mengumpulkan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in seperti Siti Aisyah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas sebagaimana terlihat dalam kitab Muwattha’, karya monumental Imam Malik.
B. Kodifikasi Ilmu Pengetahuan
Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal berikut :
1. Banyaknya mawali yang masuk Islam
Sebagian orang yang daerahnya dikuasai umat Islam menjadi penganut agama Islam. Kemudian mereka belajar agama Islam di bawah bimbingan para imam. Di bawah pemerintahan Harun al-Rasyid, dimulailah penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Pada awalnya, upaya penerjemahan di utamakan pada buku-buku kedokteran, tetapi kemudian dipelajari pula buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat.
2. Berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan
Dalam bidang ilmu kalam terjadi perdebatan, setiap kelompok memiliki cara berfikir tersendiri dalam memahami akidah Islam. Selain itu, saat itu terjadi pula pertarungan pemikiran antara mutakallimin, muhadditsin, dan fuqaha.
3. Adanya upaya umat Islam untuk melestarikan al-Qur’an dengan dua cara, yaitu dicatat (dikumpulkan dalam mushaf) dan dihafal.
Pada periode ini muncul usaha untuk menghimpun hadits Nabi, sebagai acuan dalam penetapan hukum setelah al-Qur’an. Hadits dari usaha tersebut lahirlah kitab-kitab himpunan hadits, terutama enam kitab hadits terkemuka (al-kutub al-sittah), karya ulama penghimpun hadits yaitu :
a. Imam Bukhari (wafat 256 H/870 M)
b. Imam Muslim (wafat 261 H/875 M)
c. Ibn Majah (wafat 273 H/877 M)
d. Abu Dawud (wafat 275 H/889 M)
e. Al-Tirmidzi (wafat 279 H/892 M)
f. Al-Nasa’i (wafat 303 H/915 M).
C. Pembentukan Madzhab-madzhab Fiqh
Dalam masa perkembangan ijtihad banyak para mujtahid ahli sunnah yang menjelaskan/mengkhususkan perhatiannya kepada masalah fiqh. Para mujtahid mencurahkan hampir segala hidup dan kehidupannya untuk mendalami ilmu fiqh. Baik itu untuk mengambil istimbath ilmu fiqh, maupun dalam mengerjakannya.
Tiap-tiap mujtahid senantiasa dikelilingi oleh para siswa yang ingin mempelajari ilmu fiqhnya, ataupun ingin mengajukan persoalan yang mereka hadapi. Para ahli fiqh ini telah banyak mewariskan kumpulan-kumpulan hasil ijtihad mereka. Baik yang tertulis dalam buku-buku fiqh ataupun yang berupa amanat yang senantiasa dipegang teguh oleh para siswa mereka. Kumpulan hasil ijtihad tadi kemudian dikenal dengan aliran-aliran fiqh/al-madzhahibul fiqhiyyah.
Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani (1987: 87-88) menjelaskan bahwa madzhab fiqih Islam yang muncul setelah sahabat dan khabar al-tabi’in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlussunnah. Namun tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istimbath hukum. Adapun di antara pendiri 13 itu adalah sebagai berikut :
1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H)
2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H)
3. Al-Auza’i Abu ‘Amr Abd al-Rahman ibn Amr ibn Muhammad (w. 157 H)
4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H)
5. Al-Laits ibn Sa’d (w. 175 H)
6. Malik ibn Anas al-Bahi
7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H)
9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H)
10. Daud ibn Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H)
11. Ishaq ibn Rahawaih (w. 238 H)
12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H).
Aliran hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga kini hanya beberapa di antaranya :
1. Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi. Nama lengkapnya Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit bin Zufiat al-Tamimi yang masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib. Lahir di Kufah 80H/699 M pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik. Semasa hidupnya beliau dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau wafat pada tahun 150 H/767 M pada usia 70 tahun. Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Hanafi adalah :
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Fatwa-fatwa sahabat
d. Qiyas
e. Istihsan
f. Urf
2. Imam Malik ibn Anas
Dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadits dan fiqh. Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Maliki adalah :
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Ijma ulama Madinah
d. Fatwa sahabat
e. Qiyas
f. Masalihul mursalah
3. Imam Syafi’i
Nama lengkapnya Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Quraisyi, dilahirkan di Ghazah, pada tahun 150 H. Beliau wafat di Mesir. Kitab-kitabnya hingga kini masih dibaca orang. Murid-muridnya yang terkenal di antaranya adalah : Muhammad bin Abdullah bin al-Ahkam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya al-Muzani. Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Syafi’i adalah :
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Ijma
d. Qiyas
e. Istidlal
4. Imam Ahmad Hanbali
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal 164 H/780 M. Imam Ahmad bin Hanbal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadits. Dia berhasil menyusun kitab himpunan hadits, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hanbali.
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam/dalil hukum Islam (mashadir al-ahkam, adillat al-ahkam) madzhab Hanbali adalah :
a. Al-Qur’an
b. Sunnah (hadits shahih)
c. Fatwa para sahabat
d. Hadits yang lemah (dhaif/hasan)
e. Qiyas
5. Imam Ja’far
Nama lengkapnya Imam Ja’far ash-Shaddiq (80-146 H/699-765 M), adalah Ja’far bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abiding bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H (699 M).
Ja’far al-Shadiq adalah seorang ulama besar dalam banyak bidang ilmu, seperti ilmu filsafat, tasawuf, fiqh, kimia dan ilmu kedokteran. Beliau adalah Imam yang keenam dari dua belas Imam dalam madzhab Syi’ah Imamiyah. Di kalangan kaum sufi beliau adalah guru syaikh yang besar, sedang di kalangan ahli Kimia beliau dianggap sebagai pelopor ilmu Kimia, beliau adalah guru dari Jabir bin Hayyan, ahli Kimia dan Kedokteran Islam.
Fiqh Ja’fari adalah fiqh dalam madzhab Syi’ah pada zamannya, karena sebelum dan pada masa Ja’far ash-Shiddiq tidak ada perselisihan. Perselisihan dan perbedaan pendapat baru muncul sesudah masanya.
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum/dalil hukum (mashadir al-ahkam, adillat al-ahkam), madzhab Ja’fari adalah :
a. Al-Qur’an
b. Sunnah, yang diriwayatkan oleh Imam-imam (perawi-perawi) yang diakui oleh mereka
c. Ijma’, yang diakui oleh mereka adalah ijma’ di kalangan Syi’ah.
d. ‘Aqal (Ra’yu).
B. MASA KEMUNDURAN
1.        Sketsa Kemunduran Islam
        Seperti banyak diketahui, bahwa Islam merupakan jembatan emas bagi kemajuan Barat saat ini. Islam memberi sumbangan ilmu pengetahuan yang tak ternilai bagi Barat. Namun pada gilirannya kaum Nasrani dapat merebut pengetahuan yang berharga tersebut. Pada masa akhir kejayaan Islam di Andalusia (Spanyol) tepatnya pada tahun 609 H/1212 M, Kaum Nasrani melakukan agresi besar-besaran ke Andalusia. Dengan dalih perang suci di Eropa mereka menyerang Islam dipimpin oleh Alfonso VII , Raja Castile beserta sekutu-sekutunya. Serangan tersebut dihadapi oleh khalifah al-Mansur Billah bersama 600000 tentara di Las Navas de Toloso (Al ‘Uqub) sekitar 70 mil di sebelah timur Cordova.
        Dalam peperangan tersebut tentara Muwahidun mengalami kekalahan besar bahkan menyebabkan berakhirya kekuasaan Islam di Andalusia(1235 M). Berakhirnya Islam puncaknya ketika peperangan antara pasukan Musa, Pasukan Abdullah melawan pasukan Ferdinand, Ferdinand mengirim pasukannya untuk menghancurkan pasukan Islam, tetapi Abdullah beserta pasukannya terjun ke medan peperangan dengan gagah berani,pada saat itu islam yang mengalami kemenangan dibantu oleh penduduk Granada, sehingga beberapa beneteng dapat direbut kembali
        Pada tahun 896 H/1491 M Ferdinand bersama Isabella melibatkan diri bersama 50.000 personil dengan mendengungkan perang suci. Namun pasukan Musa mendengungkan bahwa akan terus mempertahankan tanah ini walau hanya tinggal jasad saja , hal itu membuat semangat tempur pasukan islam, dan mengalahkan pasukan Ferdinand. Namun dengan kelicikannya, Ferdinand mengepung dan memblokade pasukan islam agar kelaparan. Apalagi di musim dingin (salju), sehingga keadaan kaum muslimin menjadi kritis. Abdullah menyerang atas desakan penduduk Granada yang kelaparan dan kedinginan. Sedangkan panglima Musa terus menyerang dan melawan pasukan ferdinand, sehingga mati terbunuh dalam medan peperangan. Abdullah bersama keluarganya pindah ke Maroko dan tinggal di kota Faz. Granada pada tanggal 2 Januari 1492 M dapat dikuasai kaum Nasrani dengan masuknya pasukan Castile . Dengan masuknya pasukan Castile . Dengan demikian, Salib telah menyingkirkan bulan Sabit.
2.        Agresi Kolonial Barat
        Masa ini dimulai pada abad ke-19 ketika Eropa mendominasi dunia. Dalam abad ke 19 dan awal abad 20 , didorong oleh kebutuhan ekonomi industri terhadap bahan-bahan baku dan pemasarannya , dan juga oleh kompetisi politik ekonomi satu sama lain, negara-negara Eropa menegakkan kerajaan teroterial dunia. Belanda menjajah Indonesia; Rusia mengambil Asia Dalam; Inggris mengkonsolidasi kerajaan mereka di India dan Afrika, dan mengontrol sebagian Timur tengah, Afrika Timur, Nigeria, dan sebagian Afrika Barat.
        Pada permulaan abad ke-20 kekuatan Eropa hampir menguasai seluruh dunia Islam . Dengan didukung oleh pertumbuhan produksi pabrik dalam skala dan perubahan yang besar serta dengan metode komunikasi ditandai dengan ditemukannya kapal uap, kereta api, dan telegrap. Eropa telah siap untuk melakukan ekspansi perdagangan. Kesemuanya ini diiringi dengan peningkatan kekuatan angkatan bersenjata dari negara-negara besar Eropa; akibatnya Aljazair menjadi negara Arab pertama yang ditaklukkan oleh perancis (1830-1847 M). Negeri-negeri Islam dan masyarakatnya pada waktu itu tidak lengkap lagi hidup dalam keadaan stabil serta tidak mapan sistem kebudayaannya sehingga keperluan mereka yang mendesak adalah bagaimana menggerakkan kekuatan agar selamat dari dominasi bangsa lain.Kerajaan Utsmaniyah misalnya, harus mengadopsi metode-metode baru dalam pengorganisasian militer, administrasi dan kode-kode hukum pola Eropa, dan begitu juga yang dilakukan oleh dua penguasa otonomi dari propinsi kerajaan tersebut, Mesir dan Tunisia .
        Begitu seterusnya agresi kolonial barat yang meyebabkan perubahan demi perubahan dalam kejayaan Islam , banyak yang ternetralisir dengan sistem kebudayaan barat.
3.        Penetrasi Barat Terhadap Dunia Islam
        Pengaruh Eropa terhadap dunia Islam menyadarkan para pemimpin kerajaan Utsmaniyah untuk mengadakan perubahan . Begitu pun pada masa Sultan Mahmud II padatahun 1820-an, sejumlah kecil para pejabat yang menyadari perlu adanya perubahan mengambil keputusan – keputusan yang cukup penting.
        Di Kairo, sepeninggal tentara Perancis, kekuasaan diambillah oleh Muhammad Ali (1805-48), orang Turki dari Macedonia yang dikirim oleh kerajaan Utsmaniyah melawan Perancis  . Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik gambaran bahwa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dunia Islam hampir seluruhnya berada dalam koloni barat , kecuali Hijaz , Persia, dan Afghanistan . Dunia Islam lainnya yang membentang dari Maroko hingga Indonesia merupakan negeri-negeri kolonial yang dijadikan “sapi perahan” untuk kemakmurann bangsa barat.
       FAKTOR PENYEBAB KEMUNDURAN ISLAM
        Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT).  Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal – berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.
        Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20. Faktor-faktor tersebut adalah sbb:
1.        Faktor ekologis dan alami
    Kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.
2.        Faktor eksternal.
    Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.” Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.
3.        Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat    Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.
    Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.
    Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone inilah peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:
    Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.
    Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:
 …..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang…. jika ini terjadi terus menerus, maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak, dan akhirnya mereka benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban.
    Pada Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu:
1.      Rusaknya moralitas penguasa
2.      Penindasan penguasa & ketidak adilan
3.      Despotisme atau kezaliman
4.      Orientasi kemewahan masyarakat
5.      Egoisme
6.      Opportunisme    
7.      Penarikan pajak secara berlebihan
8.      Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat
9.      Rendahnya peran masyarakat terhadap agama
10.  Penggunaan pena & pedang secara tidak tepat.
Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania.

C.     MASA KEBANGKITAN KEMBALI
Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali, termasuk di dalamnya hal pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.
Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat. Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari barat. Fase kebangkitan kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan intensitasnya. Periode kebangkitan ini berlangsung mulai sejak abad ke 19, yang merupakan kebangkitan kembali umat islam, terhadap periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yng kembali kepada kemurnian ajaran islam. Tanda-tanda kemajuan :
1.      Di bidang perundang-undangan
Periode ini dimulai dengan berlakunya Majalah al Ahkam al Adliyah yaitu Kitab Undang-undang Hukum perdata Islam pemerintahan Turki Usmani pada Tahun 1876 M.
2.      Di bidang pendidikan
Diperguruan-perguruan agama islam di Mesir, Pakistan, maupun di Indonesia dalam cara menpelajari fiqh tidak hanya dipelajari tertentu, tetapi juga dipelajari secara perbandingan, bahkan juga dipelajari hukum adat dan juga sistem hukum eropa.Dengan demikian diharapkan wawasan pemikiran dalam hukum dan mendekatkan pada hukum islam dan hukum yang selama ini berlaku.
a)      Fiqh Kaum Pembaharu
Ketika Islam memasuki periode perkembangan peradaban yang ditengarai makin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, di sana-sini terjadi akulturasi budaya antar bangsa, dan adanya persentuhan agama Islam dengan pengetahuan agama lain, maka ajaran Islam mulai dipahami dan diamalkan dengan semangat rasionalisme seiring dengan tumbuh dan berkembangnya pemikiran Islam. Muhammad al-Bahy menetapkan tiga pola upaya intelektualisasi ajaran Islam  yang melahirkan pemikiran Islam.  Pertama, usaha menggali dan memahami hukum-hukum agama dari sumbernya baik yang terkait dengan pengaturan  hubungan manusia dengan Tuhan, maupun pengaturan hubungan sesama manusia, termasuk dalam usaha ini adalah mencari solusi hukum Islam bagi permasalahan baru yang belum terjadi pada masa Nabi Muhammad.  Kedua, usaha menyelaraskan prinsip-prinsip ajaran Islam (aspek normativitas) agar tetap aktual dalam setiap zaman.  Ketiga, usaha menggali argumen (rasional religius) untuk mempertahankan  akidah Islam sekaligus menolak paham-paham lain yang bertentangan, menjelaskan posisi Islam secara umum, dan juga menggali faktor-faktor yang dapat menjadi motivasi dalam memberdayakan pemikiran untuk menjaga spirit Islam agar ajarannya tetap eksis dan utuh.
Atas dasar kenyataan di atas, Ahmad Amin mendiskripkan adanya tiga pola dan metode yang dilakukan umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.  Pertama, kaum tektualis-literalis yang berusaha memahami agama atas dasar teks al-Qur’an dan Hadis secara ketat.  Kedua,  kaum rasionalis yang berusaha memahami ajaran Islam dengan pendekatan dan kekuatan akal untuk menyingkap ajaran Islam secara kontekstual.  Ketiga, kaum intuitif yang berusaha memahami ajaran Islam lewat pendekatan  kashf dan ilham dalam rangka mengungkap rahasia agama secara batin.
Sejalan dengan pemikiran di atas, A. Mukti Ali (w. 2004) menyimpulkan bahwa dilihat dari segi pendekatan, terdapat tiga macam pola pendekatan yang dilakukan kaum muslimin dalam memehami ajaran agama Islam yaitu pendekatan  naqly (tradisional), pendekatan  aqly (rasional) dan pendekatan  kashf  (mistis).
Dalam perjalanan sejarah, ajaran Islam mengalami penyimpangan-penyimpangan yang disebabkan oleh kesalahan dalam memahami dan mengamalkannya ataupun adanya penolakan masyarakat untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan  Hadis yang benar, sehingga mendorong munculnya usaha-usaha pemurnian dan pembaharuan pemikiran Islam oleh pembaharu (mujaddid). Demikian itu karena sejak permulaan sejarahnya, Islam telah mempunyai  tradisi pembaharuan (tajdid), sehingga orang Islam segera memberi jawaban dan merespon terhadap apa saja yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam.
Pembaharuan dalam Islam mengandung tiga prinsip yang bersifat sistemik, yaitu;  Pertama,  sesuatu yang diperbaharui telah ada eksistensinya secara faktual.  Kedua,  sesuatu yang diperbaharui telah lama berlangsung atau telah mensejarah. Ketiga, sesuatu yang diperbaharui dikembalikan pada keadaan semula dalam kemurniannya. Dengan demikian, dalam konteks pembaharuan Islam yang di dalamnya antara lain tercakup konsep tentang purifikasi ajaran, karena misi pembaharuan (tajdid) yang esensial adalah untuk memurnikan ajaran Islam dan memformulasikan secara permanen validitas dan ketidakberubahan normativitas Islam kendati pada aspek historisitas bersifat dinamis dan responsif, tetapi prinsip di atas terkait pula dengan fungsi pembaharuan dalam Islam yang mengandung tiga fungsi pokok;  Pertama,  al-i’adah yaitu mengembalikn ajaran Islam kepada kondisi kemurnian dan keasliannya.  Kedua,  al-‘ibanah yaitu menyeleksi atau mensahkan ajaran Islam dari segala macam unsur-unsur lain yang telah mengotorinya.  Ketiga, al-ihya’ yaitu mendinamisasikan spiritual ajaran Islam sehingga mampu merespons dengan benar dan tepat, baik terhadap perubahan maupun dinamika kehidupan.
Berdasarkan pengertian pembaharuan di atas, upaya-upaya pembaharuan dalam Islam cenderung didasarkan pada keyakinan bahwa telah terjadi berbagai macam anomaly atau penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan ajaran Islam yang disebabkan oleh kesalahan memahami dan mengamalkan doktrin Islam, karena ajaran untuk  kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktik-praktik dan konvensi-konvensi keberagaman generasi salaf merupakan doktrin pokok kaum pembaharu. Mereka memandang, bahwa era kehidupan Islam dan metode keberagaman masa Nabi dan generasi salaf (minhaj tadayyun al-salaf) adalah cara Islam yang istimewa serta merupakan model keberagaman yang ideal, itulah sebabnya usaha-usaha yang dilakukan kaum pembaharu, meski dalam formulasi yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dihadapi, namun memiliki benang merah kesatuan inspirasi dan arah dan keaslian dengan membersihkan hal-hal yang dipandang bid’ah.
b)      Pembaharuan dan Pengaruhnya
Fungsi pembaharuan Islam adalah untuk menjaga kemurnian ajaran (al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih) dan memotivasi semangat kebebasan  individual untuk menempatkan akal pikiran dengan segala konsekuensinya menjadi semakin tinggi. Hal itu mutlak diperlakukan bagi usaha dinamisasi ajaran Islam agar menjadi fungsional (al-Abu Azam Al Hadi akhdhu bi al-jadid al-aslah), karena hakekat kebebasan untuk memahami ajaran Islam adalah inti dari ijtihad sebagai lawan taqlid yang menjadi agenda kedua para pembaharu.
Muhammad ‘Abduh (1849-1905 M.) dan Muhammad Rashid Ridha (1865-1935 M.), melancarkan usaha pembaharuan dengan jalan memodernisasikan ajaran Islam di Mesir. Beberapa pengikutnya kelak dikenal dengan golongan Salafiyyah. Muhammad Abduh berupaya memodernisasikan ajaran Islam yang asli dengan penyesuaian perkembangan modern, usaha penyesuaian tersebut membutuhkan usaha baru untuk meniscayakan dibukanya pintu ijtihad.
a.    Madzhab Skriptualisme
Mazhab berpikir skriptualisme mempunyai landasan penilaian berdasarkan teks atau wahyu (kitab suci), bahwa hanya dengan wahyu-lah kita bisa memberikan penilaian terhadap sebuah realitas dan dengan wahyu pulalah kita bisa mengatakan bahwa sesuatu itu benar dan salah, tanpa wahyu maka mustahil kita bisa memberikan sebuah penilaian.
Ada beberapa problem dalam mazhab skriptualisme antara lain:
          i.            Sifat klaim akan selalu muncul terhadap pemahaman  ayat, padahal pemahaman kita terhadap ayat tidak terlepas dari subyektifitas penafsir, sehingga tidak perlu adanya sifat otoritas tafsir dan klaim kebenaran dari penafsiran terhadap kitab tertentu dan klaim kebenaran.
        ii.            Agama yang memiliki kitab suci bukan cuma satu agama tapi banyak agama dan masing orang-orang yang memeluk agama yang berbeda sama-sama mengklaim bahwa merekalah pemilik kebenaran, pertanyaan kemudian, mungkinkah agama-agama itu bila sekiranya mengandung nilai kebenaran akan terjadi hal yang sifatnya kontradiksi, dan kalau memang mereka sama-sama meyakini kebenaran agama mereka dan kitab suci mereka, lalu kenapa mesti terjadi pengkafiran bahkan pembantaian, bahkan dalam sejarah keagamaan di dunia ini telah meninggalkan duka hitam yang sangat besar kepada ummat manusia, karena ratusan juta manusia telah menjadi korban pertikaian dan peperangan antar agama, yang sama-sama mengklaim pewaris kebenaran.
Dari dua problem diatas dan beberapa pertanyaan untuk mazhab skriptualisme, akan mengantarkan kita kepada suatu pemahaman bahwa ayat-ayat dan kitab suci bukanlah landasan penilaian dalam mengambil kesimpulan, akan tetapi Al-Qur’an ditempatkan sebagai data-data yang sifatnya metafisika dimana penelitian yang sifatnya emperikal tidak mampu menelitinya.
c)      Madzhab Liberalisme
Kata liberal berasal dari bahasa asing (Inggris) yang berarti bebas, tidak picik (pikiran).  Kemudian kata liberal ini telah menjadi kata baku bahasa Indonesia yang mengandung arti “Pandangan bebas, luas dan terbuka”. Menurut Arkoun, secara terminology mazhab liberalisme adalah aliran hukum yang sangat menekankan penggunaan rasio (akal). Aliran ini tak terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap makna hakikinya, makna ini dianggap sebagai ruh agama Islam, tema umum Islam (maqashid al-syari’ah). Dengan  arti kata bahwa mazhab ini berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam, seklaigus merupakan fiqh baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat. Mereka meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan makna dari dalam konteks.
Sejarah munculnya mazhab liberal ini dapat dilacak pada mazhab ahl al-ra’y di kalangan sahabat nabi, dua cara yang dilakukan para sahabat yang melahirkan dua mazhab besar di kalangan sahabat-sahabat ‘Alawi dan mazhab ‘Umari yang akhirnya mewariskan kepada kita sebagai Syiah dan ahl Sunnah. Mazhab fiqh liberalisme sering diidentikkan dengan  rasionalisme yaitu aliran Mutazilah dan Syiah. Dimana mazhab ini lebih menekankan rasio (akal) dalam memahami ayat-ayat al-Quran.
Aliran ini  tidak terikat dengan bunyi teks, melainkan berusaha menangkap makna hakikinya, maka peranan akal dalam ijtihad sangat dominan. Perbedaannya bahwa rasional dalam fiqh adalah suatu pemikiran yang ada hubungannya dengan nash-nash, namun apabila tidak ada hubungannya maka tidak disebut rasional tetapi liberal.
Akar-Akar Liberalisme Islam
Akar-akar gerakan liberalisme Islam di Timur Tengah bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut “gerakan kebangkitan” (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak dimulai. Pada awalnya, kecenderungan liberalisme tokoh-tokoh pembaharu Muslim di kawasan Arab dipicu oleh semangat pemberontakan terhadap kolonialisme Eropa pada satu sisi, dan terhadap keterbelakangan kaum Muslim pada sisi lain. Karenanya, misi para pembaru Muslim pada –meminjam istilah Albert Hourani— masa-masa liberal (liberal age) itu adalah pembebasan dari cengkeraman penjajahan dan pembebasan dari kebodohan. Dua misi ini terus berjalan secara beriringan hingga masa pertengahan abad ke-20, ketika sebagian besar negara-negara Muslim mendapatkan kemerdekaannya. Sementara misi kedua, proyek pembebasan dari kebodohan, masih terus berlanjut sampai sekarang.
Salah satu agenda penting dari misi kedua itu adalah memahami dan menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama (Islam). Apa yang dilakukan tokoh-tokoh awal kebangkitan, seperti Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791) di Jazirah Arab, Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (1787-1860) di Aljazair dan Libia, Rifa’at Rafi’ al-Thahtawi (1801-1873) di Mesir, dan Khairuddin al-Tunisi (1822-1889) di Tunisia, tak lain dari upaya melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi-tradisi Islam serta membangun kembali pemahaman keagamaan kaum Muslim secara benar dan bermakna. Sebagian gagasan rekonstruktif itu mendapatkan respons dari masyarakat Muslim, tapi sebagian lainnya, mengalami tantangan, khususnya dari ulama ortodoks yang dalam hal ini menjadi lawan serius dari gerakan pembaruan Islam.
Secara umum, para pembaharu Arab di masa-masa awal kebangkitan meyakini bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi setiap masa dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân). Islam juga mampu beradaptasi dengan dunia modern, termasuk dengan pencapaian ilmu pengetahuan dan dalam beberapa hal nilai-nilai Barat. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal.